Tuesday, April 23, 2013

Rendahnya Kualitas Guru Indonesia ?



Sistem pendidikan nasional sekarang sudah semakin maju, pejabat pendidikan di tingkat pusat selalu berusaha menjaga serta meningkatkan mutu pendidikan agar tetap mampu bersaing di kancah internasional.  Mutu pendidikan Indonesia secara institusi dipertanggungjawabkan oleh BSNP ( Badan Standar Nasional Pendidikan). BSNP merupakan lembaga mandiri, profesional, dan independent yang mengemban misi untuk mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi pelaksanaan standar nasional pendidikan. Secara garis besar BSNP bertugas membantu Menteri Pendidikan Nasional dan memiliki beberapa kewenangan seperti; Mengembangkan Standar Nasional Pendidikan, Menyelenggarakan ujian nasional, Memberikan rekomendasi kepada Pemerintah dan pemerintah daerah dalam penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan, Merumuskan kriteria kelulusan pada satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah, Menilai kelayakan isi, bahasa, penyajian, dan kegrafikaan buku teks pelajaran.

Sedangkan yang tidak kalah penting dengan hal tersebut di atas adalah kualitas guru yang bertugas secara langsung menerapkan kurikulum yang ditentukan oleh BSNP. Banyak masyarakat menilai, bahkan para aktivis serta para tokoh pendidikan sekalipun seringnya menggaungkan rendahnya kualitas guru di Indonesia. Namun apabila diselidiki lebih lanjut mereka lupa bahwa mereka yang telah bergaung tersebut juga tamat dan menjadi tokoh karena pendidikan yang diterapkan oleh para guru. Jasa guru memanglah tidak semua dapat dirasakan atau berdampak secara instan kepada siswa-siswanya tetapi memerlukan waktu untuk berproses dalam diri masing-masing siswa. 

Misalnya saja para pejabat menteri ataupun presiden saat ini, mereka pintar karena pendidikan yang mereka terima di sekolah TK, SD, SMP, SMA hingga Perguruan Tinggi. Saat menempuh pendidikan pada jenjang pendidikan tersebut mungkin mereka para siswa tidak terlalu merasakan pendidikan dan pengetahuan yang diberikan oleh guru-guru, namun setelah berlalu sekian tahun ternyata akhirnya mereka berhasil menjadi pejabat negara yang semata-mata itu merupakan wujud prestasi sejati dari para guru TK, SD, SMP, SMA termasuk para dosen dalam Perguruan Tinggi karena telah berhasil mencetak siswa-siswanya menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa. 

Namun, seiring perkembangan jaman yang diikuti pula oleh pola pikir era globalisasi yaitu “efektif” dan “efisien” maka guru pun sekarang dituntut demikian. Guru dituntut untuk bekerja dengan menekankan aspek pengetahuan semata yaitu guru sekarang dirasa berprestasi apabila sudah berhasil meluluskan siswanya saat Ujian Nasional saja. Terlebih lagi sekarang ditambah dengan adanya Hak Asasi Manusia (HAM) , murid yang nakal tidak boleh dijewer, dicubit karena itu melanggar Hak Asasi Manusia atau aktivitas yang dilarang dalam UU Anak. Sekarang tidak heran jika guru serba salah dalam mendidik, apabila siswa didekati dan diberikan ceramah maka besok anak-anak tersebut akan mengulanginya lagi karena tidak adanya efek jera dari kesalahan yang dilakukan siswa. 

Bukankah anak harus dididik dan diajar dengan kasih sayang ? betul, tapi kalau diamati para orang tua juga melakukan hal yang sama seperti guru tersebut yaitu menjewer anaknya sendiri yang nakal karena atas dasar kasih sayang.  Pendekatan emosional kepada anak-anak bukannya tidak mungkin tetapi sulit dilakukan karena kondisi emosional mereka masih labil. Umumnya mereka belum memiliki kemampuan yang cukup untuk menelaah semua perkataan serta expresi yang ditunjukkan guru.

Kasih sayang di era sekarang lebih diterjemahkan dalam bentuk “Manja” Padahal banyak orang sukses umumnya karena tekanan. Bukan berarti guru harus menekan siswa hingga menjadi stress atau depresi tetapi memberikan tekanan positif yang dapat membentuk karakter siswa. Memang berbicara serta berteori itu mudah, namun mempraktekkan suatu teori tidaklah semudah menghafal teori yang ada di buku. Para ahli pendidikan yang bergutat pada kertas saja memiliki kualitas yang berbeda dengan para pendidik dilapangan. Para pendidik di lapangan mengetahui betul bagaimana karakter siswa, bagaimana sikap dan perilaku siswa di sekolahnya, sehingga mereka tahu mana yang perlu dijewer dan mana yang memang perlu pendekatan secara personal. 

Para ahli pendidikan yang hanya bisa berteori apabila disuruh untuk mengajar siswa, misalnya saja siswa TK ataupun SD tentunya tidak ada jaminan akan serta merta berhasil. Karena Guru bukanlah jabatan teori, namun profesi yang didalamnya memerlukan keterampilan serta pengalaman yang cukup di lapangan. Pernah terdengar kabar bahwa seorang profesor ahli pendidikan ditantang untuk mengajar siswa TK di suatu tempat, namun profesor tersebut ternyata gagal dalam mengajar. Kenyataan tersebut memang ada yang secara tidak langsung berarti seorang profesor dikalahkan oleh guru-guru TK yang memang asli di sekolah itu yang notabene hanya tamatan SMA. Di sini terlihat jelas bahwa para ahli berteori memiliki kualitas dan tempat yang berbeda dengan para pendidik.

Berdasarkan uraian pendapat yang telah dikemukakan, kesimpulan yang dapat diambil yaitu rendahnya kualitas guru Indonesia tidaklah benar sepenuhnya. Guru merupakan objek percontohan para siswa yang segala sikapnya baik disekolah maupun kesehariannya merupakan bentuk pendidikan yang dapat diimplementasikan oleh siswa. Memang masih ada ditemukan guru berbuat tidak pantas seperti berbuat cabul terhadap siswi-siswinya namun itu adalah oknum, bukankah pejabat juga ada yang melakukan korupsi bahkan hingga berkelahi di gedung perwakilan rakyat ? dengan kejadian tersebut tentunya tidak benar jika kita memvonis bahwa seluruh guru atau seluruh pejabat berkualitas rendah. Karena bagaimanapun dan dimanapun juga selalu ada aspek dualisme seperti; baik-buruk, atas-bawah, tinggi-rendah dan sebagainya.

No comments:

Post a Comment