Sistem pendidikan nasional sekarang sudah
semakin maju, pejabat pendidikan di tingkat pusat selalu berusaha menjaga serta
meningkatkan mutu pendidikan agar tetap mampu bersaing di kancah
internasional. Mutu pendidikan Indonesia
secara institusi dipertanggungjawabkan oleh BSNP ( Badan Standar Nasional
Pendidikan). BSNP merupakan lembaga mandiri, profesional, dan independent yang
mengemban misi untuk mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi
pelaksanaan standar nasional pendidikan. Secara garis besar BSNP bertugas
membantu Menteri Pendidikan Nasional dan memiliki beberapa kewenangan seperti;
Mengembangkan Standar Nasional Pendidikan, Menyelenggarakan ujian nasional,
Memberikan rekomendasi kepada Pemerintah dan pemerintah daerah dalam penjaminan
dan pengendalian mutu pendidikan, Merumuskan kriteria kelulusan pada satuan
pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah, Menilai kelayakan isi,
bahasa, penyajian, dan kegrafikaan buku teks pelajaran.
Sedangkan yang tidak kalah penting dengan hal tersebut di
atas adalah kualitas guru yang bertugas secara langsung menerapkan kurikulum
yang ditentukan oleh BSNP. Banyak masyarakat menilai, bahkan para aktivis serta
para tokoh pendidikan sekalipun seringnya menggaungkan rendahnya kualitas guru
di Indonesia. Namun apabila diselidiki lebih lanjut mereka lupa bahwa mereka
yang telah bergaung tersebut juga tamat dan menjadi tokoh karena pendidikan
yang diterapkan oleh para guru. Jasa guru memanglah tidak semua dapat dirasakan
atau berdampak secara instan kepada siswa-siswanya tetapi memerlukan waktu
untuk berproses dalam diri masing-masing siswa.
Misalnya saja para pejabat menteri ataupun presiden saat
ini, mereka pintar karena pendidikan yang mereka terima di sekolah TK, SD, SMP,
SMA hingga Perguruan Tinggi. Saat menempuh pendidikan pada jenjang pendidikan
tersebut mungkin mereka para siswa tidak terlalu merasakan pendidikan dan pengetahuan
yang diberikan oleh guru-guru, namun setelah berlalu sekian tahun ternyata
akhirnya mereka berhasil menjadi pejabat negara yang semata-mata itu merupakan
wujud prestasi sejati dari para guru TK, SD, SMP, SMA termasuk para dosen dalam
Perguruan Tinggi karena telah berhasil mencetak siswa-siswanya menjadi orang
yang berguna bagi nusa dan bangsa.
Namun, seiring perkembangan jaman yang diikuti pula oleh pola
pikir era globalisasi yaitu “efektif” dan “efisien” maka guru pun sekarang
dituntut demikian. Guru dituntut untuk bekerja dengan menekankan aspek
pengetahuan semata yaitu guru sekarang dirasa berprestasi apabila sudah
berhasil meluluskan siswanya saat Ujian Nasional saja. Terlebih lagi sekarang ditambah
dengan adanya Hak Asasi Manusia (HAM) , murid yang nakal tidak boleh dijewer,
dicubit karena itu melanggar Hak Asasi Manusia atau aktivitas yang dilarang
dalam UU Anak. Sekarang tidak heran jika guru serba salah dalam mendidik,
apabila siswa didekati dan diberikan ceramah maka besok anak-anak tersebut akan
mengulanginya lagi karena tidak adanya efek jera dari kesalahan yang dilakukan
siswa.
Bukankah anak harus dididik dan diajar dengan kasih sayang ?
betul, tapi kalau diamati para orang tua juga melakukan hal yang sama seperti
guru tersebut yaitu menjewer anaknya sendiri yang nakal karena atas dasar kasih
sayang. Pendekatan emosional kepada
anak-anak bukannya tidak mungkin tetapi sulit dilakukan karena kondisi
emosional mereka masih labil. Umumnya mereka belum memiliki kemampuan yang
cukup untuk menelaah semua perkataan serta expresi yang ditunjukkan guru.
Kasih sayang di era sekarang lebih diterjemahkan dalam
bentuk “Manja” Padahal banyak orang sukses umumnya karena tekanan. Bukan berarti
guru harus menekan siswa hingga menjadi stress atau depresi tetapi memberikan
tekanan positif yang dapat membentuk karakter siswa. Memang berbicara serta
berteori itu mudah, namun mempraktekkan suatu teori tidaklah semudah menghafal
teori yang ada di buku. Para ahli pendidikan yang bergutat pada kertas saja memiliki
kualitas yang berbeda dengan para pendidik dilapangan. Para pendidik di
lapangan mengetahui betul bagaimana karakter siswa, bagaimana sikap dan
perilaku siswa di sekolahnya, sehingga mereka tahu mana yang perlu dijewer dan mana
yang memang perlu pendekatan secara personal.
Para ahli pendidikan yang hanya bisa berteori apabila
disuruh untuk mengajar siswa, misalnya saja siswa TK ataupun SD tentunya tidak
ada jaminan akan serta merta berhasil. Karena Guru bukanlah jabatan teori,
namun profesi yang didalamnya memerlukan keterampilan serta pengalaman yang
cukup di lapangan. Pernah terdengar kabar bahwa seorang profesor ahli
pendidikan ditantang untuk mengajar siswa TK di suatu tempat, namun profesor
tersebut ternyata gagal dalam mengajar. Kenyataan tersebut memang ada yang
secara tidak langsung berarti seorang profesor dikalahkan oleh guru-guru TK
yang memang asli di sekolah itu yang notabene hanya tamatan SMA. Di sini terlihat
jelas bahwa para ahli berteori memiliki kualitas dan tempat yang berbeda dengan
para pendidik.
Berdasarkan uraian pendapat yang telah dikemukakan,
kesimpulan yang dapat diambil yaitu rendahnya kualitas guru Indonesia tidaklah
benar sepenuhnya. Guru merupakan objek percontohan para siswa yang segala
sikapnya baik disekolah maupun kesehariannya merupakan bentuk pendidikan yang
dapat diimplementasikan oleh siswa. Memang masih ada ditemukan guru berbuat
tidak pantas seperti berbuat cabul terhadap siswi-siswinya namun itu adalah
oknum, bukankah pejabat juga ada yang melakukan korupsi bahkan hingga berkelahi
di gedung perwakilan rakyat ? dengan kejadian tersebut tentunya tidak benar
jika kita memvonis bahwa seluruh guru atau seluruh pejabat berkualitas rendah.
Karena bagaimanapun dan dimanapun juga selalu ada aspek dualisme seperti;
baik-buruk, atas-bawah, tinggi-rendah dan sebagainya.
No comments:
Post a Comment